Pendidikan merupakan satu rangkaian sebuah sistem
komponen yang satu sama lain saling mengisi, memberi, memahami dan mendukung
satu sama lain. Bak bangunan saling menguatkan satu dengan yang lainya sehingga
tercipta harmonisasi dalam kehidupan.
Banyak sekali dilema yang terjadi di masyarakat
kita mengenai pendidikan. Persoalan itu muncul bukan sebuah teori tapi realita
yang terjadi, semisal kadang ada sekolah yang menyalahkan orang tua wali akibat
perilaku anaknya, kadang orang tua wali juga menyalahkan guru atau sekolah
terhadap perilaku buruk anaknnya. Bagaimana sich, oq anak saya bandel begini
dan suka berantem? Bagaimana pengwasan guru? apa yang diajarkanya?.Demikanlah
kritikan yang dilontarkan sebagian wali murid. dan kadang juga ada sebagian
guru yang memprotes terhadap kebijakan pemerinah mengenai pendidikan dan
sebaliknya.
Persoalan saling tuding menduding ini terjadi
bukan tanpa sebab, lantaran kurangya tanggung jawab antara kompenen yang saling
berkaitan dan inilah yang kami sebut
“Kebodohan tersistem”. Masih
teringat ketika ada guru yang mencari anak didiknya yang tidak masuk sekolah,
kemudian guru tersebut melakukan
home
visit ke orang tua wali dan menanyakan kondisi anaknya. Setelah ditanyakan
kenapa anak bapak dan ibu tidak berangkat sekolah? orang tua wali itu menjawab:
“tadi dia keluar pergi bermain sama temanya”. Sungguh jawaban santai yang
dilontarkan orang tua wali pertanda tiada kepedulian terhadap pendidikan anak,
belum lagi orang tua yang tidak menanyakan anaknya rangking berapa,
perkembangan kepribadianya dan yang lebih memprihatinkan lagi ada orang tua
wali yang tidak tahu anaknya sekolah dimana.
Kondisi ini diperparah dengan kualitas guru dan
sistem pendidikan yang tak berpendidikan, guru dihadapkan pada posisi dilema
dengan model gaya pendidikan ala matrealistik. Pendidikan yang hanya mengejar
target nilai – nilai semata dengan ketentuan nilai yang sudah ditetapkan.
Padahal sejatinya tujuan pendidikan adalah bukan dinilai dari angka – angka
melainkan perubahan sikap peserta didik ke arah yang lebih baik, baik itu
kognitifnya maupun psikomotoriknya. Jika kondisi demikian terus
berkelanjutan, model apapun kurikulum yang ditetapkan sama saja halnya akan
menimbulkan kebodohan yang tersistem gaya baru yang berlainan rupanya lagi
karena tiada keseimbangan antara satu komponen dengan komponen yang lainya.